Review: Seandainya (2012)


Ini kisah cerita Cinta, seorang gadis remaja SMU yang tinggal bersama ayahnya yang tuli dan bisu. Di sekolahnya dia mengalami kesialan karena harus terkunci di perpustakaan dengan kakak kelas seniornya bernama Arkana. Arkana, seorang remaja putra yang mengalami broken home karena ayahnya meninggalkan dirinya bersama ibunya. Hubungan kelanjutan Cinta dan Arkana semakin berlanjut ibarat kata melebihi cinta monyet sekalipun. Dibalik cinta monyet mereka ternyata menyimpan ketakutan mereka masing-masing yang ternyata mempertaruhkan cinta monyet mereka kedepannya.

Nayato nampaknya tidak mau mencuri start banyak-banyak film di tahun 2012. Terbukti baru 2 film yang disutradarai beliau tayang di tahun ini. Dan nampaknya beliau sudah capek dengan film-film berbau horror tidak penting. Terbukti 2 filmnya kali ini bergenre romantis semua. Ya semoga saja itu sebuah bukti awal Nayato kembali ke jalan yang benar. Walaupun hasil 2 filmnya tidak begitu menghasilkan banyak penonton dibandingkan film-filmnya yang berbau horror komedi yang tidak penting judulnya tersebut. Setelah nama besar dari Agnes D di awal tahun lalu menjadi rekan kerjanya di film My Last Love, kini Nayato menggandeng Anggoro Saronto dengan pengembangan naskah oleh mbak Titien Wattimena.

Bagaimanakah hasil dari naskah yang pernah membuat naskah film Malaikat Tanpa Sayap ini? Apakah mengikuti arus dari cara Nayato ketika melakukan shooting yang tanpa menggunakkan naskah alias ekspresi langsung jadi aja pokoknya tanpa cerita dari coretan tangan seorang penulis naskah? Hmm rasanya peran Anggoro disini hanya sekitar 35% di film ini sisanya terlihat sekali Nayato lah yang mengambil alih semua ini. Kenapa gue berani bilang Nayato akrena terlihat sekali sesuatu yang ringkas dan cepat dalam suatu film itu sudah pasti ide dari Nayato. Lihat aja di awal film ini langsung bagaimana Arkanra jatuh cinta kepada Cinta hanya karena terjebak di ruang perpustakaan? Setelah cuaca hujan yang tiba-tiba serta perubahan tone dan musik seperti film horror melingkupi awal film ini.

Setelah itu pengambilan gambar ala Nayato pun kembali terjadi di film ini, yaitu gerimis yang selalu mengguyur setiap adegan di film ini. Hujan pun bisa datang ketika cuaca cerah sekalipun, yap hanya Nayato yang bisa berbuat demikian. Nah, barulah peran Anggoro disini terlihat di dialog pemainnya yang sedikit lebih dewasa dan mengambil unsur puitis seperti tipenya mbak Titien dalam mengembangkan naskah sebuah film. Gue berharap akhir film ini ada sesuatu yang menarik yang ingin dibagikan, tapi nampaknya para penulis naskah kehabisan ide untuk mengakhiri film ini. Akhirnya pun terlihat cenderung tidak masuk akal dan maksa sekali. Kalau saja ada twist, pasti film Seandainya akan jauh lebih menarik.

Judul film Seandainya pun nampaknya kurang begitu pas, rasanya "hujan" atau "gerimis" lebih pas untuk film ini. Bagaimana tidak? Setidaknya ada 10-15 scene adegan hujan/gerimis di sepanjang durasi 83 menit film ini. Kalau masalah teknis kedokteran sendiri rasanya gue tidak pantas untuk menjudge lebih jauh tentang film ini karena gue bukanlah ahlinya. Walaupun dalam hati berkata: "Bisa ya seperti demikian?" Kalau dari sisi peran sendiri, nampaknya Dinda Hauw tiada habisnya untuk mengambil peran "orang berpenyakitan" di filmnya. Kalau tidak salah hitung film Seandainya adalah film keempat dirinya dengan peran "orang penyakitan" tersebut. Dari keempat film tersebut memang sih disini perannya lebih cenderung dewasa tapi entah kenapa sampai saat ini belum menemukan "lebihnya" akting dari Dinda ya :|

Christ Laurent yang awalnya sempat bermain di film Milli & Nathan di tahun 2011, bisa dibilang di film Seandainya agak lebih jelas sedikit cara bicaranya. Peran Jay nampaknya bermain cukup baik dibandingkan pemain pendukung lainnya dari film ini. Kehadiran Cut Merisyka pun nampaknya hanya sekedar numpang lewat begitu saja di film ini, karakter dirinya kalaupun tidak ada di film ini nampaknya tidak ada pengaruh apa-apa. Peran ayah Cinta disini sebenarnya entah kenapa cukup mengganggu ya, aktingnya yang gagu dan tuli nampaknya terlihat agak sedikit kemayu karena gerak jalan dan tangan beliau di film ini yang begitu gemulai.

Seandainya ibarat kata itu film yang mencerminkan judulnya sendiri. Seandainya banyak bagian bisa diperbaiki di sepanjang film ini pasti jauh lebih menarik untuk disimak. Akan tetapi terlepas dari kekurangan dari film ini, setidaknya gue secara pribadi lebih nyaman mengikuti Seandainya dibandingkan My last Love yang dengan genre sama dari seorang Nayato di tahun 2012 ini. Semoga saja Nayato lebih baik dan serius lagi menggarap film yang bergenre demikian. Poin-poin sekecil apapun baik dari medis sekalipun alangkah lebih baik diperhatikan beliau lagi agar tidak membuat dirinya terlihat bodoh di mata para dokter yang menonton film ini. ;Salam JoXa:

2/5

Trailer:

Komentar