Entah ada apa dengan Hanung Bramantyo kali ini, gue disini tidak mau berprasangka buruk dahulu karena beliau ternyata disini tidak bekerja sendiri sebagai seorang sutradara. Jika dilihat dari letak penulisan nama pun, nama dari Hanung Bramantyo berada setelah nama Hestu Saputra. Mungkin orang bertanya-tanya dan gue pun sangat bertanya-tanya siapakah Hestu Saputra ini? Gue pun langsung menarik napas lega dan tidak terlalu kaget lagi ketika tahu ada nama selain Hanung di bangku sutradara. Sepanjang film pokoknya gue merasakan feelnya film Hanung tidak sampai 50%. Setahu gue Hanung paling detil sekali dalam menyutradarai sebuah film.
Cerita yang ditulis Ben Sihombing, pun bisa dibilang tidak memiliki unsur yang istimewa banget. Ketidakfokusan dalam memilih cerita dari film ini pun bisa dirasakan sejak pertengahan film. Awal film terlihat ketegangan dari film ketika adegan perampokan yang dilakukan terhadap penumpang bus lintas sumatera. Setelah itu langsung ke perkenalan para tokoh-tokoh disini dan pengenalannya pun terasa sekali dor to the dor secara bersamaan. Setelah itu, diceritakan seorang Dapunta yang cerdas ingin sekali melanjutkan kuliah tapi dihalangi oleh ayahnya yang lebih suka Dapunta meneruskan pekerjaannya saja sebagai bajing loncat. Tapi setelah itu, muncul coach Ferdy yangs eang mencari bibit baru untuk sebagai Pelari dimana untuk mewakilkan acara Sea Games nanti. Suasana puncak ketegangan konflik pun tidak begitu terasa, semua terjadi begitu flat saja.
Gue awalnya gak tahu ya kalau film ini ada unsur Sea Gamesnya ya, entah ini unsur kesengajaan atau kebetulan begitu saja ya. Dimana perilisan film ini tidak jauh dengan tanggal Sea Games dan juga tempat dimana Sea Games berlangsung pun. Jadi semua terkesan ada unsur untuk membangun euphoria penonton film Indonesia terhadap Sea Games ataupun sebaliknya. Di film ini juga tidak lupa memperkenalkan budaya Sumatera Selatan sendiri, dari tenunan kain bahan yang dilakukan ibu dari Dapunta, adanya pergelaran musik, dan adanya beberapa rumah yang menjadi ciri khas dari Sumatera Selatan. Tapi sayangnya semua unsur-unsur budaya yang dimasukkan tadi terasa cuma lewat begitu saja dengan sapaan “Ini loh budaya Sum-Sel” That’s it.
Sinematografi dan keindahan sisi alam dari Sumatera Selatan yang di film ini bisa dibilang menjadi poin plus tersendiri. Ya bisa dibilang angle-angle yang diberikan oleh Faozan Rizal sebagai penata kamera ketika mengambil tempat-tempat indah dan unik tersebut bisa membuat gue memukaulah. Hmmm lain hal di bagian kostum di film ini, gue merasa cukup terganggu disini. Ketika adegan di sekolah kostum para pemain terlihat seperti anak-anak baru padahal mereka duduk di bangku kelas tiga, semua pun berubah lagi ketika para pemainnya berada di rumah masing-masing dan masih menggunakan seragam sekolah yang terlihat jauh lebih bersih. Selain itu, ada beberapa keganjalan dari film ini yaitu ketika adanya berita penangkapan terhadap suatu tokoh tapi ketika di lokasi tidak ada wartawan atau pun lightning yang begitu cerah sekali. Akan tetapi, semua tiba-tiba muncul di sebuah berita TV.
Para pemain disini bisa dibilang mengeluarkan karakter-karakternya dengan baik. Qausar Harta Yudana sebagai bintang baru di film ini mampu membuktikan kalau dirinya bukan pendatang baru biasa dan mampu disandingkan dengan pemain-pemain senior lainnya di film ini. Lukman Sardi sepertinya bisa dibilang sebagai aktor pendukung di semua film-film yang dibaliknya seorang yang benar-benar bagus filomographynya. Karakter yang dibawakan Lukman disini bisa dibilang tidak jauh berbeda dengan film-film sebelumnya, tetap dengan karakter yang membawa nurani bangga terhadap bangsa Indonesia dan ketika mengucapkan dialog yang bisa dibilang cukup berat berhasil dibawakannya. Agus Kuncoro disini bisa dibilang nyaris sebagai tempelan saja di film ini. Karena walaupun dirinya sebagai pelatih Lari untuk ajang Sea Games nanti, tapi porsi dirinya tidak terlalu banyak muncul, untungnya sekali dengan dirinya muncul dia bisa membawakannya dengan baik dan memberikan kesan tersendiri.
Sebagai film pertama, Wanda Hamidah disini terlihat cukup baik membawakan karakternya sebagai Ibu Dapunta. Gesture dari Wanda disini yang selain cantik dan begitu memukau terlihat pas memerankan tokoh tersebut. Logat yang diucapkan pun gue tidak merasa ada yang kaku yang dilontarkan oleh Wanda sendiri. Mathias Muchus sebagai aktor senior bisa dibilang tampil ya seperti biasanya saja dengan karakter yang kuat dan permainan emosi yang cukup baik. Giorgino Abraham Joshua Pandelaki disini bisa dibilang 75% sama karakternya seperti di film sebelumnya Tendangan Dari Langit. Kayaknya karakter orang nyebelin sudah menajdi langganan dari aktor muda ini. Siti Helda Meilita yang merupakan Duta Pedidikan dan Budaya -IBGK Sumsel disini berperan cukup ayu, tapi kok gue disini tidak melihat chemistry yang baik ya antara dirinya dengan Dapunta.
Akhir kata, Pengejar Angin bukanlah karya Hanung Bramantyo terbaik tahun ini dibandingkan dua film sebelumnya. Rasanya agak cukup disayangkan ya karya beliau satu ini yang dilalui bersama Hestu Saputra. Walaupun ternyata ada statement yang mengatakan bahwa Hestu Saputra lah sebenarnya sutradara film ini 100%. Mendengarnya bisa dibilang agak aneh yak arena di situs web 21 pun ditulis nama Hanung bukan Hestu. Baiklah sepertinya sedang trend pergantian nama sutradara di dunia perfilman kali ini. Semua kembali lagi ke penonton film Indonesia yang menonton film ini. Saksikan mulai tanggal 3 November di bioskop kesayangan anda! :Salam JoXa:
2/5Trailer:
Komentar
Posting Komentar