Satu lagi karya anak bangsa kita yang mengambil ide cerita tentang sosok pejuang di tanah air. Dia bernama Syafii, mantan ketua umum Pengurus Pusat Muhammadiyah 1998-2005. Walaupun sosok ini tidak begitu booming banget seperti KH Ahmad Dahlan yang telah di buat terdahulu dalam bentuk film Sang Pencerah (2010) oleh Hanung Bramantyo dan sosok Obama, Presiden Amerika Serikat yang dibuatkan dalam bentuk film, Obama Anak Menteng (2010). Kali ini sosok Syafii, dibuatkan cerita dalam bentuk film dengan judul Si Anak Kampoeng. Bagaimanakah nasib cerita film ini? Simak curhatan josep tentang film ini, di bawah ini.
Syafii adalah anak yatim sejak bayi. Ibunya telah tiada setelah melahirkan dirinya. Dia tinggal bersama paman dan bibinya di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, setelah ibunya tiada. Sang ayah, Ma’rifah Rauf, sangat sedih ketika harus menerima kepahitan ditinggal sang istri tercinta. Walaupun sang anak dititipkan, dia tetap memantau anaknya dari kejauhan, terutama soal perkembangan iman dari Syafii. Syafii bersekolah di Sekolah Rakyat Soempoer Koedoes. Disana, dia bertemu dengan teman-temannya, diantaranya Wahid, Julai, Aminah, Husin, dan Zainal. Percekcokan antar anak-anak pun juga terjadi diantara mereka. Sang ayah, yang tinggal berjauhan dengan dirinya dan sudah menikah kembali tetap berjumpa sua sekali-kali dengan anaknya, Syafii. Suatu hari, Syafii pun akhirnya bersekolah di sebuah Madrasah, hingga naik tingkat kelas dan rajin mengaji. Walaupun dirinya mendapatkan sesuatu yang diraihnya, yaitu perlahan-lahan bisa menjadi orang yang berguna, akan tetapi problematika kehidupan tidak luput. Dia harus menghadapi namanya suatu penderitaan batin yang dimana orang yang disayanginya harus pergi meninggalkan dirinya di saat kesuksesan sudah di depan mata. Pertentangan dari sang ayah pun menjadi bagian problematika kehidupan Syafii. Lalu, dapatkah Syafii menghadapi berbagai macam problematika semua ini demi meraih cita-citanya kelak?
Sebuah kisah yang berbau sosok pun diangkat kembali setelah Obama Anak Menteng dan Sang Pencerah di tahun 2010 silam. Sutradara Demian Dematra yang pernah juga terlibat di film Obama Anak Menteng, kini kembali dengan aksinya di film Si Anak Kampoeng. Film ini juga merupakan diantara filmnya yang diangkat dari sebuah novel milik beliau. Beliau yang merupakan seorang novelis, penulis skenario, sutradara, produser, foto-grafer internasional, dan pelukis, kini mencoba menjabati peran sebagai editor, director of photography, music & lyric di film ini. Mungkin bisa dibilang beliau cukup “berani” mengambil langkah tersebut, karena terbukti hasil karya beliau kali ini tidak terlihat rapi dan enak untuk dinikmati. Entah apa maksud beliau untuk mengambil langkah yang cukup “berani” tersebut. Semoga saja bukan karena berbagai macam penghargaan yang telah diraihnya di kancah rekor dunia. Sebagai info saja, beliau telah meraih 6 rekor dunia, diantaranya penulis ter-cepat di dunia, penulis novel yang diterbitkan tercepat di dunia, fotografer tercepat di dunia, pelukis tercepat di dunia, penulis buku tertebal di dunia, penulis buku dengan judul terpanjang di dunia (disahkan oleh Museum Rekor Dunia, Guinness World Records, dan Royal World Records). Bisa dibilang cukup agak fantastis pengharagaan yang telah diraih beliau, tapi semua itu akan berguna jika karya yang dibuatnya juga membuat orang terkagum-kagum terhadap beliau.
Dari karyanya yang satu ini, bisa dilihat bagaimana seorang Syafii menghadapi problematika yang pelik di kehidupannya. Akan tetapi, problematika tersebut bisa dilihat terlalu lambat untuk dinikmati. Alur yang terlalu bertele-tele sepanjang hingga pertengahan film menjelang akhir pun yang dapat kalian saksikan kelak. Perpindahan setting tempat yang konon kabarnya mengambil settingnya di Sumpurkudus, Sumatera Barat, serta kawasan Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, terlihat hanya seperti di satu lokasi dengan tanpa adanya perpindahan yang terlalu mencolok. Sosok Syafii, yang saya harapkan menjadi suatu sosok yang bisa gue kenal seperti Ahmad Dahlan di Sang Pencerah, terlihat diluar harapan gue. Disini, cuma diceritakan bagaimana sosok Syafii kecil saja tanpa adanya perubahan wajah, usia dan mental yang signifikan dari sosok seorang Syafii. Setting tahun 1930-1950 yang diambil di film ini tidak terlihat sama sekali di film ini. Film ini hanya mengandalkan pengambilan gambar layaknya formatan gambar sephia. Adanya ketidakkonsisten film ini pun cukup terlihat. Sebagai contoh, ketika Aminah memberikan surat ke Syafii itu terlihat jelas bagaimana penulisan yang baik dan benar seperti tahun 70an padahal di sisi lain ketika Syafii mendapatkan sepucuk surat yang berisikan pidato terlihat dengan jelas suasana penulisan di tahun 1950an yang masih dengan format “doeloe”.
Scoring dari film ini sebenarnya bisa dikatakan cukup pas dengan film, akan tetapi tekadang adanya penempatan yang tidak pas pun terlihat film ini agak cukup mengganggu. Bagaiman dengan pemain-pemain di film ini? Radith yang berperan sebagai Syafii bisa terlihat sangatlah datar dari berbagai ekspresi yang ditampilkan. Untunglah dia memiliki senyum yang bagus sehingga tidak begitu mengganggu perannya disini. Adanya cameo-cameo bintang papan atas yang sudah cukup berpengalaman tidak tergali di film ini. Sebut saja, Ayu Azhari dan Inggrid Widjanarko yang tidak sampai 3 scene berada di film ini. Padahal sebenarnya, jika bagian mereka masing-masing digali lebih lagi, suasana drama film ini lebih terasa lebih hidup. Sosok Pong sebagai guru Syafii di film ini bisa dibilang aman dan terkendali di film ini. Hiburan yang disajikan film ini terihat dari karakter anak-anak yang dihadirkan di film ini. Akan tetapi, terkadang sosok mereka terlihat begitu terganggu karena adanya pengambilan gambar yang sangat maksimal dan sangat mengganggu mata. Sosok Syafii yang kehilangan ibunya sangat tidaklah terlihat mendalam sekali jika dibandingkan dia kehilangan sosok yang disayanginya selama hidupnya. Sungguh ironi, seorang anak yang tidak terlihat begitu sedih ketika ibunya meninggal
Overall, film ini bisa dibilang pas pembawaan isi ceritanya walaupun terlihat begitu lambat dan bertele-tele yang menghabiskan waktu di satu tempat saja. Adanya subtitle di film ini bisa dibilang agak sangat parah penjermahannya, gue seperti anak bodoh yang dibodoh-bodohi grammar english di film ini. Agak cukup disayangkan juga sebenarnya film ini yang dibalik sosok Damien Dematra dengan berbagai macam penghargaan yang diraihnya. Alangkah lebih baik beliau lebih baik fokus di satu jobdesk saja daripada dengan 6 jobdesk sekaligus di satu film. Akan tetapi, biarlah masukkan dan kritikan para penonton terhadap film ini, bisa dijadikan pelajaran yang penting untuk film berikutnya yang terlihat di akhir film ini. Akan tetapi, untuk sebuah film mengenang sosok seseorang, bisa dibilang film ini agak cukup berantakan disana-sini. Selamat menonton. :cheers:
Trailer:
Komentar
Posting Komentar