Review: L4 Lupus (2011)

Damien Dematra. Siapa sih yang tidak mengenal nama tersebut di dunia perfilman akhir-akhir ini? Jika anda seorang penggila social media pastilah kalian sempat terlintas mendengar kabar soal beliau yang begitu menghebohkan. Terakhir, dirinya bahkan sempat tersorot media TV karena berita hebohnya tersebut. Apa sih berita heboh tersebut? Beliau dikabarkan telah meraih penghargaan di festival luar negeri oleh karena filmnya yang berjudul Si Anak Kampong. Rasanya tidak ada yang masalah sih dengan berita kegembiraan ini, tapi yang cukup menghebohkan adalah ketidakjelasan asal usul festival tersebut.

Setelah ditelusuri, ternyata festival tersebut pun tidak pernah memberikan penghargaan apapun terhadap seorang multitalented winning award ini. Hmmm agak aneh dan narsis bukan? Dan sekarang dia dengan bangga mempublikasikan penghargaan tersebut ke khalayak umum, belum lagi embel-embel International Multy Award Winning Director pun dimunculkan di poster film terbarunya kali ini yaitu L4 Lupus. Oh G! Gue pun sebelum menonton film ini memutuskan untuk mengurungkan niat menonton trailernya karena takut “geram” dengan sepenggalan kurang lebih 2 menit karya beliau.

Atikah adalah seorang dokter yang baru saja 2 tahun lalu tamat dari kuliah kedokterannya dengan nilai cumlaude. Dirinya tinggal bersama adik tercintanya yang bernama Mutiara. Mereka telah hidup berdua saja sejak usia mereka beranjak remaja karena kedua orang tua mereka meninggal secara beruntutan. Atikah sebagai salah satu dokter di RS Kramat 128 pun terlihat begitu sibuk karena setiap menit korban-korban berjatuhan yang menghampiri dirinya bersama dokter Cakrawati dan dokter yang abru saja dipindahkan dari Makassar, dokter Adam. Atikah pun tidak lupa menjaga dan merawat adik satu-satunya yang kini menderita penyakit Lupus. Akankah Atikah bertahan dengan semua ini dan apakah dia bisa menemukan cinta sejatinya?

Perasaan gundah, gelisah dan tersiksalah yang gue rasakan sepanjang 85 menit di dalam salah satu gedung bioskop Jakarta dan hanya 2 orang saja (termasuk gue) yang menonton film ini. L4 Lupus sendiri yang disingkat dari Love for Lupus teramat rendah sebagai produser film yang memiliki nama besar dengan penghargaan MURI sekalipun (katanya sih). Gue disini benar-benar terbuka matanya ketika melihat karya dari seorang Damien Demantra yang L4 Lupus. Karena ketika menyaksikan Si Anak Kampong gue setidaknya masih mentolerir karya beliau karena memang gue tidak tahu menahu soal cerita asli yang diangkat dari novel tersebut. Walaupun durasi dari L4 Lupus jauh lebih singkat dari Si Anak Kampong tapi rasa “penyiksaan” itu tidak akan gue lupakan di tahun ini (disamping film-film dari KKD dan Nayato ya).

Rasa gundah dan gelisah semua bermula dari awal yang sudah tidak membuat respect sama sekali terhadap film ini. Lihatlah kelakuan seorang cumlaude dokter yang begitu labil untuk memutuskan mandi saja kurang lebih 3 menit. Menurut gue itu sangatlah tidak masuk akal. Setelah itu, kepala gue dibuat pusing tujuh keliling karena melihat banyaknya korban berjatuhan di RS Kramat 128 yang kebetulan sebagai lokasi shooting film ini. Hmmm Rumah Sakit ini pun terasa begitu “Kramat” di film L4 Lupus. Masalah teknis dan cara-cara pengobatannya yang tepat di film L4 Lupus gue tidak bisa mengomentarinya karena bukan wewenang gue. Jadi alangkah lebih baik seorang dokter sajalah yang berkomentar.

Irama film L4 Lupus pun sangatlah aneh dan tidak bisa dinikmati dengan baik. Lihat saja perubahan mood cepat yang begitu saja terjadi di film ini. Bayangkan saja ketika sedang ada suasana tegang plus ditambah musik yang mengganggu karena terlalu kencang (jadi tidak terlihat tegang lagi) harus berpindah dengan cepat di scene berikutnya dengan suasana ceria dan dibalut musik ala drama musical didalamnya. Selain Irama yang begitu cepat, perpindahan lokasi kejadian pun sangatlah tidak masuk akal. Damien oh Damien entah apa dipikiran anda ketika harus membuat lokasi Kebun Raya Bogor-RS Kramat terasa begitu dekat di saat kondisi kritis sedang terjadi!! Di Jakarta banyak kali bung lokasi yang serupa tapi tidak sama dengan Kebun Raya Bogor, kan bisa menyulap Taman Menteng atau Taman Suropati! Makanya harus cari tahu dan kreatif!

Sepanjang film siap-siap saja kalian akan diberikan 7 lagu seperti layaknya mini album! Belum lagi adanya teks yang diberikan serasa di tempat karaoke saja. Dan paling penting bersiaplah melihat kenarsisan Damien di akhir credit title dengan petikan gitarnya tersebut. Selain itu, gue juga terganggu dengan suara dari para pemain, entah kenapa mereka terlihat sekali melakukan dialog seperti baru belajar ngomong alias tidak sealami mungkin melakukannya. Belum lagi faktor dubbing/merekam yang terkadang tidak pas dengan gaya mulut yang mereka lontarkan. Naskah yang dibuat Demian sendiri pun terlihat sangat kacau! Gue malah lebih nyaman menonton sinetron yang ditukar-tukar atau sesuatu anugerah tersebut daripada menyaksikan cerita film L4 Lupus. Lihat saja si Atiqah masih bisanya dimabuk cinta bersama dokter Adam ketika adiknya sedang sakit. Belum lagi hilangnya begitu saja tokoh Mutiara setelah dirinya dinyatakan meninggal dunia tanpa adanya penguburan yang jelas.

Sebagai seseorang yang pernah meraih International Multy Award Winning Director, rasanya Damien Damatra harus segera diberikan obat penenang sebelum beraksi lagi dengan karya-karya beliau lainnya. Gue kira cuma KKD atau Nayato yang harus diwapadai dengan produksi-produksi film mereka, ternyata Damien pun harus diwaspadai juga karena bisa membuat penonton merasakan “sesuatu” yang mungkin sulit untuk disembuhkan sampai 1 hari seperti yang gue rasakan sampai saat ini ketika memposting review ini masih merasakan “sesuatu” itu. Peduli amatlah dia yang pertama kali membuat film tentang Lupus! Kalau memang dia masih mau dipercayai sebagai film maker Indonesia, gue rasa dia harus segera khilaf akan perbuatannya selama ini!



Trailer:

Komentar