Review Babe Dari Leiden Ke Bekasi dan Terima Kasih Cinta (2019)

Awal tahun 2019 bisa dibilang bulan yang unik dan langka untuk perfilman Indonesia. Bagaimana tidak, di bulan Januari ada 15 film Indonesia yang rilis dan 2 diantaranya ada film yang layarnya lebih banyak di kota Bekasi saja. 17 Januari Terima Kasih Cinta rilis dengan layar terbatas di Jakarta dan di Bekasi lebih banyak bahkan bertahan hingga 10 hari. 24 Januari Babe Dari Leiden ke Bekasi tayang di Bekasi dan Bogor (Metmall Cileungsi) dan bertahan hanya 8 hari di bioskop. Lantas sebenarnya bagaimana cerita dari kedua film ini, apakah memang keduanya layak mendapatkan penonton dan layar lebih?

Terima Kasih Cinta mengisahkan tentang seorang gadis remaja SMU, Eva, yang didiagnosa penyakit Lupus oleh dokter. Ketidakstabilan dalam bergerak membuat Eva harus jaga jarak dengan pacarnya Ryan. Eva bertemu dengan Dewi, pasien satu kamar dengan dirinya yang mengidap penyakit Kanker Pankreas. Eva merasa kehilangan mendalam ketika Dewi pergi untuk selamanya. Rasa kehilangan Eva lambat laun semakin memudar dengan hadirnya kakak Dewi yang jatuh cinta kepada Eva. Cerita Babe Dari Leiden ke Bekasi menceritakan tentang seorang peneliti cantik, Betty, dari Leiden Universiy, Belanda, sedang melakukan penelitian tentang budaya Bekasi. Ali, tetangga dari Betty jatuh hati pada pandangan pertama. Hubungan mereka harus terhalangi oleh tembok restu dari orang tua Ali yang sangat membenci dengan orang asing karena Bapak Ali dahulunya pernah merasakan dijajah oleh para kaum Belanda.

Dari segi konsep cerita keduanya sangatlah tidak menarik, namun jika harus memilih salah satu, film Terima Kasih Cinta sedikit lebih baik dari Babe Dari Leiden ke Bekasi. Walaupun sedikit dikecewakan dengan para pemain Terima Kasih Cinta yang notabene peraih Piala Citra, namun jika dipikir kembali kalau bukan mereka yang melakoni karakter di film ini pasti akan jauh lebih buruk lagi filmnya. Beberapa adegan Putri Marino terlihat cenderung berlebihan dan kurang menyakinkan penonton kalau dirinya menderita penyakit. Begitu juga dengan Cut Mini yang chemistrynya kurang solid dengan pemain sebagai satu keluarga. Kalau pemain Babe Dari Leiden ke Bekasi tidak perlu ditanya kembali karena tidak ada satu pun yang menarik perhatian atau menjadi penyelamat film ini.

Dari filmography sutradara Terima Kasih Cinta dan Babe Dari Leiden ke Bekasi memiliki sejarah yang cukup buruk. Seperti Hasto Broto, yang dahulu membuat Jembatan Pensil, Kasinem is Coming, Surga pun ikut menangis, dan Diaspora Cinta di Taipei. Jadi mau berharap lebih seperti apa dari Babe Dari Leiden ke Bekasi wong biasa bikin film yang bikin sakit kepala. Lain halnya dengan Tema Patrosza, yang 2 film sebelumnya bertemakan horror yang mencekam (Sakral dan Tumbal: The Ritual), yang mencoba bermain di genre drama melalui Terima Kasih Cinta. Patut diapresiasi sih usahanya walaupun naskah filmnya yang terlalu biasa untuk film bertemakan penyakit.

Kedua film ini memiliki kesamaan yaitu rilisnya hanya di Bekasi. Entah karena dibiayain oleh pemkot Bekasi atau tidak, sebaiknya ke depannya tidak usah lagi memproduksi film jika masih sama seperti ini. Terima Kasih Cinta memang terlihat mengungguli dari segi penonton dari Babe Dari Leiden ke Bekasi, namun jangan senang dahulu karena hasil tiket boom atau booking studio yang menyisakan 3 baris depan saja. Ketika saya menonton Terima Kasih Cinta yang harusnya ada penonton banyak ketika saya membeli tiketnya akan tetapi faktanya pas film sudah 10 menit baru masuk orang ke dalam studio dan tidak sampai 3 baris depan penontonnya. Alangkah lebih baik dana pemkot Bekasi dialihkan ke festival ke anak-anak muda yang suka bikin film pendek terus dijadikan satu dalam bentuk film panjang. Nampaknya itu akan jauh lebih jika masih memproduksi seperti kedua film ini.

Terima Kasih Cinta 2/5
Babe Dari Leiden Ke Bekasi NR

Trailer TERIMA KASIH CINTA:


Trailer BABE DARI LEIDEN KE BEKASI:








Komentar