Review: KM97 Movie (2013)



Anton merasa bersalah dan terpukul ketika disaat detik terakhir sebelum ibundanya meninggal dunia, dirinya tidak berada disampingnya. Setelah mendapat kabar dari sahabatnya, Anton bersama Lidya, sang istri, dan anak tunggal mereka Bintang menuju ke Lembang tempat tinggal Bapaknya. Dalam perjalanan menuju Lembang, Anton memilih lewat jalan tol Cipularang. Setiba di Lembang, Lidya merasakan sosok menghantui dirinya, namun itu semua dipendam saja oleh dirinya. Belum lagi merasakan sosok tersebut, sikap Bapak Anton kepada Lidya pun begitu dingin sejak kehadirannya saat itu. Hal yang aneh lagi pun tercium dari sikap Bintang yang begitu berbeda setelah meminta izin buang air kecil ketika di KM97. Ada apa dengan semua ini? Keanehan Bintang dan sosok yang menghantui Lidya apakah memiliki sinkronisasi?

Siapa coba yang tidak mengenal sosok Jose Poernomo di dunia perfilman Horror? Beliau ini bisa dibilang walaupun jarang menyutradarai film setiap tahunnya, pasti selalu menyajikan judul yang memorable didalamnya. Sebut saja film Jelangkung, Trilogi film Pulau Hantu, Angkerbatu, dan paling terakhir Rumah Kentang. Di minggu terakhir caturwulan pertama Jose kembali menyajikan film horror terbaru dengan judul yang nantinya akan memorable di pasaran yaitu KM97. Tercatat oleh penulis, sudah 2 film yang berdasarkan tol KM 97 yaitu Misteri Cipularang dan Arwah Kuntilanak Duyung. Lalu apalagi cerita yang ingin dibagikan dalam film KM97?


Dari segi cerita, KM97 memiliki premis yang agak sedikit lebih baik dibandingkan kedua film berbau jalan tol yang sudah disebutkan tadi. Kolaborasi penulis skenario Hilman Mutasi dengan Jose Poernomo bukanlah yang pertama karena di film Angkerbatu dan Tak Biasa mereka sudah berkolaborasi bareng di segi skenario. Akan tetapi sayangnya film KM97 ketika dieksekusikan dalam bentuk film sebanding dengan buruknya kedua film tersebut. Entah ada apa dengan Jose Poernomo. Di film ini beliau terlihat sekali seperti filmmaker yang baru belajar membuat sebuah film horror. Secara teknis harusnya untuk seorang Jose bisa mengakali atau meminimalisir semuanya itu, namun penonton nampaknya harus kembali dikecewakan setelah Rumah Kentang di tahun 2012 terlihat begitu "kentang" sekali. Ada beberapa ketidaksinkronisasi beberapa scene di film ini, salah satunya ketika adegan Alm Ibunda Anton yang seharusnya untuk memberi tahu Bi Elha kalau ada sesuatu yang aneh, kenapa harus terlihat seperti menakut-nakuti bahkan sampai Bi Elha harus dibawa ke Rumah Sakit. FYI adegan seperti ini seperti adegan di film Insidious yang terkenal di tahun 2011 lalu.

Dari segi teknis film KM97 sudah tidak nyaman dari awal film ketika ada dialog antar pemain. Kamera di sepanjang film ini bisa terhitung lebih dari 10 adegan mengalami goyang. Padahal kalau dilihat dari adegannya, space untuk pengambilan adegan tidaklah begitu minim. Dari segi scoring sebenarnya tidaklah mengganggu karena kalau saja scoring dan musik di sepanjang film ini tidak ada, pastilah akan menjadi sebuah film yang membosankan. Andai saja musik "Na... Na... Nana... Na... Na..." lebih dipoles lagi dan suara sinden lebih banyak namun tidak rekaman kasar, pastilah film KM97 akan menjuarai dan cukup membuat bulu kudu merinding. Namun semua itu hanyalah khayalan belaka saja. Dari deretan para pemain, film KM97 diisi oleh Restu Sinaga, Feby Febiola, Zidane, Ausgust Melasz, Henny Timbul, Iang Dharmawan, Fitrie Rachmadhina, Elsa Diandra, Tya Maria, Nanny N dan Garry Iskak.

Dari deretan para pemain yang disebutkan tadi saja tidak ada yang memorable sama sekali karakternya setelah menonton film ini. Om August dan Restu pun yang bermodalkan mata yang tajam dan melotot sekalipun kurang kelihatan meyakinkan ekspresinya. Zidane sebagai bintang cilik baru pun terlihat masih kaku ketika harus gelisah atau salah tingkah. Feby Febiola, Elsa Diandra sebagai pembantu, Tya Maria sebagai Widy yang pengambilan gambarnya di titik keseksian tubuh mereka. Cuma di film KM97 kayaknya pembantu menggunakan dress mini di rumah. Akhir kata, film KM97 memiliki premis yang cukup menarik karena mengangkat sisi mitos selama ini "anak kecil dilarang buang air kecil sembarangan" namun ketika dieksekusikan ke dalam sebuah film terlihat seperti film asal-asalan, bahkan film dokumenter anak SMU yang pernah penulis tonton saja terlihat lebih baik dan niat penggarapannya. Semoga Jose Poernomo kembali di jalan yang benar lagi di film berikutnya. :Salam JoXa:



Trailer:

Komentar