Review: Euphoria (2011)



Sebuah film indie yang konon kabarnya sudah sukses terlebih dahulu di festival luar negeri yang berjudul Euphoria. Euphoria bercerita tentang 4 karakter utama yang ikut terlibat dengan beberapa anak muda lainnya dalam teater mereka yang berjudul Srikandi. Harris sebagai seorang anak dari pemberi modal besar dari teater tersebut yang kini sedang berjuang untuk sukses seperti ayahnya. Lain pula halnya dengan Giras, seorang tamatan kuliah seni lukis yang memiliki obsesi karya lukisannya tersebut bisa dibuatkan semacam galeri untuk mempromosikannya.

Di sisi ceweknya, Ara, gadis tomboy yang kini mengikuti jejak ibunya sebagai seorang penari dan mendapatkan peran utama di teater tersebut. Kemudian Valerie, lulusan dari salah satu Universitas luar negri ini baru saja pulang ke Jakarta dan mendapatkan sesuatu hal yang pahit di dalam kehidupannya. Di teater ini, mereka akan menemukan arti dari namanya suatu keakraban, kesatuan untuk meraih sesuatu yang mereka inginkan. Simak reviewnya berikut ini.

Suatu karya anak muda yang patut diapresiasikan, karena tim Euphoria ini bisa dilihat cukup semangat ingin membuat sebuah film yang mengambil unsur budaya Indonesia di dalamnya. Walaupun nyatanya hasil mereka secara keseluruhan tidak luput dari kerikil-kerikil yang cukup mengganggu. Kerikil-kerikil tersebut sangatlah terlihat dari segi teknis. Sebut saja ya, ketika ada suara kaki jalan dari tangga, pengambilan gambar pun mengikuti hentakan dari suara kaki tersebut. Selain itu, dari segi sounds dan pelafalan dialog para pemain entah kenapa terasa kurang begitu jelas dan kecil sekali suaranya. Akan tetapi ketika suara yang berhubungan dengan ketok pintu, bunyi telepon masuk begitu nyaring dan kencang suaranya bahkan cukup mengganggu pendengaran.

Selain itu ketidaktasbilan pengambil gambar sangatlah terlihat kurang fokus di film ini, mungkin apa karena dengan kondisi low budget jadi terlihat kurang indah. Rasanya cukup disayangkan ya kalau film yang mengambil tema berhubungan dengan Srikandi yang konon salah satu seni budaya Indonesia jadi terasa kurang greget secara keseluruhannya. Ya tapi kita sebagai bangsa Indonesia cukuplah bisa sedikit tersenyum dengan film ini karena telah berhasil diedarkan ke berbagai luar negeri, diantaranya Kedutaan Besar Indonesia di Bratislava, Republik Ceko dan diikuti pemutaran di Kedutaan Besar Indonesia di Paris, Perancis, pemutaran di Vancouver Indonesian Film Festival pada bulan Juni dan juga pemutaran di Osaka, Jepang, pada bulan Juli (info dari filmID).

Bisa dibilang karakter-karakter disini cukup kuat ya karena mereka memiliki karakter-karakter yang berbeda-beda. Ananda Moechtar yang berperan sebagai Ara bisa dibilang yang mencuri perhatian gue disini. Karena perannya yang cukup ceria tapi ternyata tertutup dengan sikapnya yang ternyata juga seorang lesbi ketika disambar petir oleh lawan mainnya. Karakter lainnya yang cukup menarik adalah Indri Sriwattana. Dengan karakter yang nyentrik dan kebiasaan di luar negri yang begitu kental dengan jaket bulu-bulunya itu mampu menghasilkan akting yang prima sebagai seorang anak broken home di bidang keluarga dan hubungan percintaan.

Karakter-karakter lain bisa dibilang tampil lumayan kuat tapi kurang greget dibandingkan 2 pemain yang sudah disebutkan di atas. Di film ini pun sayangnya ada beberapa penyorotan pemain yang rasanya tidaklah amat penting untuk dimunculkan karena terlihat sekali membuang durasi saja. Contohnya, pelatih dari Ara yang memarahi Ara ketika latihan, begitu pula dengan petugas OB kantor dari Bapaknya Harris yang entah kenapa disorot secara full frame tapi tidak ada sangkut pautnya sama cerita. Akhir kata, film Euphoria arahan sutradara, Pandu Birantoro (3 Bersaudara, The Ribbon (Short film)) kali ini terasa sekali kurang greget penampilannya padahal dengan adanya budaya Srikandi di film ini rasanya film ini bisa lebih baik lagi. :Salam JoXa:

2/5

Komentar