Di Bawah Lindungan Ka'bah (2011)

Hamid seorang pemuda yang dijaman tahun 1920an berhasil menyelesaikan pendidikannya dari perguruan Thawalib. Dari murid-murid perguruan tersebut hanya tiga yang berhasil menyelesaikan pendidikan tersebut, salah satunya Hamid. Ibu Hamid merasa senang dan bangga kepada anakny tersebut karena kerja keras dirinya menghidupkan Hamid seorang diri hingga dewasa berhasil dia lakukan dengan baik. Namun demikian, rasa senang mereka tidak larut begitu saja karena semua itu tidak lain atas pertolongan Haji Ja’Far yang memberikan biaya kepada pendidikan Hamid hingga selesai. Selain itu, Ibunda Hamid yang telah diperkejakan di rumah bapak Haji tersebut juga menjadi bagian kesuksesan semua itu.

Ketika sudah kembali ke rumahnya setelah beberapa lama menekuni pendidikan di perguruan Thawalib, Hamid bisa bertemu kembali dengan Zainab. Zainab adalah putri cantik jelita dari anak Haji Ja’Far yang begitu dicintai Hamid, begitu pula sebaliknya dengan Zainab. Namun rasa cinta itu harus dipupuk dalam-dalam karena perbedaan status sosial dan ekonomi diantara mereka berdua. Belum lagi adanya perjodohan antar Zainab dengan Arifin, anak dari kerabat Haji Ja’Far. Hamid pun tidak terlalu mengambil pusing dengan persoalan tersebut, dirinya kembali meniatkan diri untuk berangkat naik Haji.

MD Entertainment, sejak kesuksesan Ayat-Ayat Cinta di beberapa tahun silam, niat untuk membuat proyek film dari sebuah novel rasanya selalu dibuat untuk memperingati perayaan Idul Fitri atau Hari Raya Lebaran. Proyek mereka tentunya selalu tidak main-main alias dibuat begitu matang dan hasil penjualan filmnya pun tidak sedikit dan mencapai hampir 4 juta penonton di film Ayat-ayat Cinta. Kini, mereka membuat film Di Bawah Lindungan Ka’bah yang berdasarkan novel dari pengarang Buya Hamka. Apakah kesuksesan Ayat-Ayat Cinta di beberapa waktu silam bisa mengikuti di film Di Bawah Lindungan Ka’bah? Kita lihat saja hasilnya nanti setelah film ini dirilis 25 Agustus mendatang. Sekarang simak curhatan josep berikut ini tentang film Di Bawah Lindungan Ka’bah yang telah saya tonton pada Gala Premiere tanggal 18 Agustus waktu lalu di Plaza Senayan XXI.

Kalau boleh jujur, gue belum begitu tahu siapa Buya Hamka ketika tahu proyek film ini akan berlangsung dibuat. Begitu pula dengan isi novel Di Bawah Lindungan Ka’bah pun belum gue sentuh dan baca sama sekali. Oleh sebab itu, ketika menonton film ini gue merasa bingung karena seperti menonton film yang kurang lebih sama dengan cerita Love Story yang telah tayang terlebih dahulu beberapa waktu silam. Dari segi tempat lokasi, dan kisah percintaan dua insan yang dibatasi sebuah tembok pemisah. Dan ternyata, setelah saya tanya ke beberapa sumber yang telah membaca novel tersebut, ternyata kurang lebih memang seperti itu isi filmnya.

Okei, kalau memang begitu cerita dari novelnya seperti itu ya mau bagaimana lagi. Dari segi alur, cerita film Di Bawah Lindungan Ka’bah bisa dibilang tampil biasa saja seperti film-film yang sudah pernah saya tonton seperti ini. Cerita yang dihadirkan yang lambat agak terasa sedikit lama namun tidak begitu membosankan. Yang membuat saya bosan adalah hadirnya elemen-elemen tidak penting dari film ini yang diambil gambarnya begitu lebai dan zoom sekali. Hadirnya kacang garuda yang dengan bungkus vintagenya, gery chocolatos yang entah kenapa bisa ada di tahun 1920an, serta obat bakar baygon yang entah sengaja atau tidak diambil gambarnya begitu penuh.

Gue tahu kalau mereka adalah bagian penting untuk membiayai film ini yang katanya menghabiskan 25 Miliar rupiah, akan tetapi kalau disajikan lebih halus pastilah akan jauh lebih baik dibandingkan hasil yang gue lihat. Elemen-elemen tersebut pun terlihat mengganggu penonton dan bahkan membuat penonton untuk menertawakan film ini. Akan tetapi untungnya dari segi properti, film ini terlihat begitu total dalam pembuatannya. Kalau boleh jujur lagi, gue begitu menikmati dan terpukau dengan properti-properti yang dihadirkan film ini seperti pada tahun 1920an. Walaupun kata teman saya ketika selesai menonton, sebenarnya ada beberapa bagian yang terlihat seperti gambar tempelan, tapi untungnya saya tidak merasakan hal tersebut karena saking terpesona dengan pengambilan gambar dari properti-properti tadi.

Dari segi para pemain, rasanya gue tidak merasakan gregetnya 2 pemain utama difilm ini. Herjunot Ali sebagai Hamid terlihat sekali masih kaku di beberapa bagian. Adegan tawanya entah kenapa terasa tidak natural dan seperti dipaksakan untuk tertawa. Adegan tangisan pun terlihat kosong matanya sehingga sama sekali tidak membuat gue tersentuh dengan kondisi yang dialaminya pada saat itu. Laudya C. Bella pun demikian, namun di beberapa bagian masih jauh lebih baik penghayatannya. Penjiwaan dirinya ketika sedih, galau begitu dalam dan dapat dirasakan penuh oleh seorang Aktris yang pernah meraih beberapa penghargaan sebagai Aktris terbaik di beberapa waktu silam.

Kehadiran Niken Anjani, Tarra Budiman, dan Ajun Perwira pun terlihat kurang greget di film ini. Mungkin faktor minimnya adegan yang mereka lakukan di film ini jadi terlihat kurang. Akan tetapi gue lebih suka penampilan make-up dari Niken Anjani yang terlihat lebih natural dibandingkan Bella yang begitu tebal sekali. Ajun Perwira yang baru saja mendapatkan gelar sebagai VJ Hunt 2011 beberapa waktu lalu, disini terlihat masih kaku dan belum kelihatan kekuatan karakter dari dirinya keluar di film ini. Begitu pula dengan Tarra Budiman yang kurang begitu dekat chemistrynya dengan Junot padahal disini mereka diceritakan sebagai seorang sahabat dari kecil. Satu lagi kurangnya dari film ini yaitu logat Padangnya tidak dimunculkan oleh para pemain, logat anak Jakarta yang begitu dominan dimunculkan di film ini. Jadi terkesan kurang pembawaan dialog yang seharusnya penggambaran di setting tahun 1920an.

Para senior yang menjadi pendukung di film ini malah terlihat jauh lebih prima dibandingkan pemain yang disebutkan di atas tadi. Yenny Rachman dan Widyawati terlihat begitu baik menjalankan perannya sebagai Ibu yang sama-sama merasakan anaknya menderita karena cinta. Didi Petet pun begitu yang terlihat prima di film ini, walaupun perannya cuma sedikit di film ini. Scoring yang dihasilkan film ini entah kenap terdengar sangat kekinian ya? Padahal kalau saja mengambil unsur musik-musik di jaman 1920an pasti jauh lebih baik hasilnya untuk dinikmati. Unsur pengenalan budaya Padang pun tidak begitu dikenalkan oleh film ini, hanya Rumah Adat lah yang terliha mencolok dari film ini.

Di Bawah Lindungan Ka’bah sebuah film yang secara keseluruhan menampilkan cukup baik walaupun adanya kurangnya film ini di berbagai sisi. Tapi memang inilah ciri khas dari Hanny R Saputra yang memang begitu kental sekali dengan drama percintaan dan total dalam pembuatan properti. Jadi tidak bisa disalahkan juga kalau tidak sesuai atau sama persis dengan novelnya sendiri. Sebagai sajian yang tujuan awalnya menghibur, rasanya film ini cukup menghibur untuk ditonton dan juga untuk ditertawakan karena elemen-elemen yang begitu mengganggu di sepanjang film ini. Selamat menonton. :cheers:



2,5/5



Trailer:




Komentar

  1. bingung banget ada yg bilang bagus ada yang bilang aneh dll

    tapi asumsi gue sih emang aneh. secara hanny gitu. track record dia naik turun. dan ga salah kalo lo samain kaya Love Story. seting kincir airnya aja sama *spoiler*

    kayaknya dpt 1jt penonton aja uda untung. LOL

    BalasHapus
  2. @bee untungnya saya disini cuma sebagai penonton yg tanpa background apa-apa ttg film ini Dan untungnya lagi properti-propeti yang diberikan film ini berhasil menghipnotis saya untuk tetap setia sampai akhir film ini. So kalau memang mau menonton film ini silahkan saja tapi harus menerima konsekuensi-konsekuensi yang sudah saya sebutkan di atas.

    BalasHapus

Posting Komentar