Lost In Papua (2011)


Setelah mendapatkan izin LSF, akhirnya film ini tayang juga walaupun sempat tertahan sebentar saja. Mungkin kejadian ini hampir sama dengan film sebelumnya yang juga melibatkan nama daerah. Akan semua tetapi, itu semua sebenarnya tidak masalah kalau memang ada unsur-unsur positif yang bisa diambil untuk menaikkan nama daerah tersebut. Seperti kita tahu, Papua adalah Provinsi yang paling timur di Negara kita tercinta RI. Papua juga memiliki banyak sejarah sebelum Negara kita merdeka, sumber-sumber alam pun juga banyak yang dihasilkan dari daerah tersebut. Lalu apa yang mau diangkat dari film Lost In Papua? Daripada kelamaan gue curhat, mendingan langsung baca aje curhatan gue berikut ini.

Rangga seorang pecinta alam yang sedang melakukan eksperimen tambang ke Papua bersama teamnya. Ketika mereka sedang berisitirahat, salah satu teman mereka memberitahukan bahwa mereka sekarang berada di wilayah KT 2000. Menurut mitos, wilayah tersebut merupakan wilayah angker. Yak, ternyata mitos tersebut sedang jatuh di tangan mereka. Satu per satu, mereka pun hilang hingga Rangga pun tak jelas keberadaannya yang sebelumnya hanya menampilkan ekspresi ketakutan saja.

Cerita pun berpindah ke Jakarta, Nadia adalah seorang wanita pekerja keras di kantornya. Sang Bos, Pak Wijaya, pun mengirim dia ke Papua untuk tugas kantor. Pak Wijaya memiliki alasan kuat untuk mengirimkan Nadia ke Papua. Akan tetapi, Nadia bersikeras untuk mencoba meluluhkan hati Pak Wijaya agar dia tidak ditugaskan kesana karena phobia-phobia yang dimiliki Nadia. Lain halnya dengan Kakek John, kakek Nadia yang setuju dengan pengiriman cucu kesayangannya ke Papua. Kakeknya pun menceritakan asal usul dulunya ketika berada di Papua, tepatnya diantara suku Korowai. Kakeknya menitipkan cinderamata yang pernah diberikan Anak Kepala Suku Korowai kepada Nadia agar diberikan kepada Kepala Suku yang kemungkinan dulunya anak kepala suku. Sebelum ke Papua, Nadia pun galau karena mengingat mantan tunangannya, Rangga, yang juga pernah hilang di Papua.

Lain kisah pun berlalu ke David, anak dari Pak Wijaya yang pernah ditolak cintanya oleh Nadia. Akan tetapi, David tetap keukeuh untuk meraih cintanya Nadia. Nadia pun semakin badmood ketika David pun juga ikut ke Papua. Nadia begitu menimati keindahan Papua, hingga tugas kantornya pun terlewatkan begitu saja. Berbagai konflik pun dialami Nadia bersama teman-temannya dan juga David. Konflik mucul karena kelalaian David yang membuat masalah di Suku Korowai. Suku Korowai pun mengejar Nadia, David beserta teman-temannya. Mereka berlari terus hingga tersesat di daerah KT2000 dan mereka pun diculik oleh suku yang terkenal paling “ganas”. Penderitaan batin dan jasmani pun dialami mereka satu per satu.

IMHO, opening film ini bisa dibilang sangat mencekam dan merinding. Ekspresi ketakutan yang diperankan oleh Edo Borne begitu meyakinkan. Begitu pula dengan scoring film ini yang bisa dibilang juga ikut membawa suasana yang mencekam. Semua situasi yang mencekam pun buyar ketika di Jakarta. Bumbu-bumbu drama dan komedi di film ini begitu banyak sekali, terutama adegan di Jakarta. Jadi, bisa dibilang film ini agak cukup “rakus” mengambil semua genre. Untuk sebuah film, sebenarnya boleh-boleh saja memberikan bumbu-bumbu genre lain, tapi alangkah sebaiknya lebih fokus ke genre film itu sebenarnya. Kalo dilihat dari poster, film ini kan tentang Papua yang didalamnya terdapat banyak suku-suku. Akan tetapi, film ini hanya sedikit pembelajaran yang dapat dipetik. Mungkin apa karna faktor semua genre dimasukkan dalam film ini? Alangkah sebaiknya film ini lebih fokus kepada suku Korowai yang di Papua dan menceritakan akan hilangnya Rangga. Film ini mungkin cukup diselamatkan dengan soundtrack-soundtracknya yang cukup easy listening dan catchy banget untuk dihafal.

Dari segi sinematografi pun film ini agak mengecewakan. Papua terkenal dengan indahnya pemandangan disana, akan tetapi di film ini tidak memberikan sesuatu yang menarik untuk dinikmati. Bukan untuk membandingkan dengan film yang terdahulu pernah mengambil lokasi di Papua, tapi gue secara pribadi lebih suka film yang terlebih dahulu. Pengambilan gambar pun begitu gelap, dan kelam. Jika lo semua mau sekalian nostalgila dengan film-film warkop, mungkin film ini bisa menjadi tontonan kalian. Semua pemain yang di film ini, bisa dibilang tampil maksimal. Apalagi pemeran-pemeran tambahan yang bisa dibilang sebagai “bumbu” hidupnya film ini. Ada lagi nilai plus buat Fauzi, dia memerankan peran begitu natural dan sangat “gila”. Entah ini tuntutan skenario atau improvisasi beliau. Begitu pula dengan Edo Borne, walaupun tampil hanya di awal dan seutil di beberapa scene di tengah-tengah film untuk flashback, tapi Edo bisa dibilang aktor pendukung yang tampil sangat maksimal. Disamping itu, Fanny pun tampil sangat ciamik dan cantik. Untuk akting kayaknya tidak perlu diragukan lagi, mungkin untuk saran saja nih, alangkah lebih baik Fanny memilih peran sebagai Pscyho/Psikiater untuk menggali karakter dirinya. Karena kalau Fanny perannya tetap seperti ini saja, mungkin dia bisa gampang dilupakan.

Overall, film ini bisa dikatakan cukup menghibur untuk produksi film pertama karya anak merauke sendiri dengan kerja sama bareng Nayatom Production (bukan NAYATO) dan sesuai dengan taglinenya yaitu Unik, Menarik, Penuh Misteri dan Mencekam. Unik dan menarik dari faktor semua genre dimasukkan di film ini. Penuh Misteri karena ada suatu masalah yang tidak diceritakan disini hingga masih penuh misteri bahkan tanda Tanya hingga penonton keluar dari studio. Mencemkan dengan hadirnya suku yang begitu diluar dugaan penonton dan mungkin juga agak tidak masuk akal tentang keberadaan suku tersebut. Selamat menonton dan siaplah menjadi saksi Suku Korowai. :cheers:

2,5/5

Trailer:

Komentar